Saturday, November 17, 2007

Ghibah atau Nasehat?

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Amma ba’du.

Saudaraku sekalian, ghibah atau menggunjing adalah perbuatan yang pada asalnya dilarang oleh Islam. Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)

Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.

Pengertian Ghibah

Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)

Keharaman Ghibah

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:

حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”

Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”

Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)

Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: `Siapakah mereka itu wahai Jibril?` Jibril menjawab, `Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain`.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’, hal. 26-27)

Ghibah yang Dibolehkan

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”

Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:

1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:

1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)

Praktek Ulama Salaf

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Demikian pembahasan yang bisa kami tuliskan, semoga bermanfaat.

Wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aaliihi wa shahbihi ajma’iin.>
muslim.or.id

Friday, November 16, 2007

Ketika Zina Jadi Biasa

Saat ini fenomena hamil di luar nikah begitu marak, dan masyarakat pun sudah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang biasa. Di mana-mana ada pemilu (pengantin hamil dahulu). Ironisnya, maksiat ini banyak dilakukan umat Islam, padahal Islam mengajarkan umatnya agar jangan mendekati zina...

Dampak Globalisasi
Kemajuan teknologi informasi benar-benar telah membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Sayang, kebanyakan pengaruh yang ditimbulkannya bersifat negatif, yang mengarah pada dekadensi moral, khususnya bagi generasi muda.

Pengaruh budaya barat yang disebarkan melalui berbagai tayangan di televisi, VCD, ataupun internet yang begitu mudah diakses, sungguh sangat terasa. Perubahan nilai atau cara pandang terhadap pergaulan antar lawan jenis pun berubah. Kalau dulu, pacaran atau bermesraan di depan umum dianggap tabu, kini hal itu dianggap biasa. Jangankan bersentuhan atau sekadar berciuman, yang lebih dari itu pun dilakukan, dengan tanpa rasa malu! Naudzubillah...

Sepotong Malu Yang Tersisa
Saat melakukan hal itu (zina), mungkin rasa malu benar-benar sudah menghilang dari hati dua insan yang dimabuk cinta. Hawa nafsu telah membius mereka, sehingga hal itu pun terjadi.

Namun...bila kemudian timbul konsekuensi logis dari perbuatan mereka itu, benarkah tiada lagi sepotong malu yang tersisa...?

Bagi seorang gadis, ternyata itu seringkali menyisakan rasa malu yang dalam. Gara-gara hamil di luar nikah, sekolah terpaksa kandas. Dan semua orang tahu, kini ia tidak gadis lagi. Duh, malu ...rasanya! Tambah malu lagi, bila sang pacar tidak mau mengakui atau bertanggung jawab atas perbuatannya. Bila begini jadinya, rasanya, habislah sudah masa depannya. Penyesalan pun selalu datang terlambat.

Demikian juga bagi orangtua si gadis. Ijab qabul belum dilakukan.... eh, rahim anaknya sudah ‘diisi’ orang. Siapa yang tak marah.

Yanglebih menyedihkan adalah rasa malu seorang anak, jika kelak ia tahu, bahwa ia lahir ke dunia ini disebabkan perbuatan yang memalukan. Itulah beberapa ‘malu’ yang tersisa, dari perbuatan yang sepantasnya hanya dilakukan binatang itu.

Dipertanyakan keabsahannya
Ketika mengetahui anak gadisnya dihamili pacarnya, biasanya seorang bapak buru-buru menikahkan mereka. Ia tak peduli, sah atau tidakkah pernikahan dalam kondisi demikian. Yang penting, jangan sampai anaknya melahirkan tanpa memiliki suami.

Walaupun menurut hukum di negeri ini, pernikahan dalam kondisi seperti itu dianggap sah, namun sah jugakah bila dituinjau dari hukum agama yang syar’i?

Dalam islam, seorang wanita yang hamil harus menunggu sampai anaknya lahir, jika ingin menikah. Lagipula, jika pernikahan seperti itu sah, maka akan senanglah para pezina. Enak sekali, bisa berzina dulu dan menikah kemudian. Bila sang wanita tidak hamil, tidak perlu menikah. Yang seperti itu tentu saja sangat bertentangan dengan Islam, karena islam memberikan hukuman yang tegas bagi para pelaku zina.

Anakpun Menjadi Aib
Normalnya, dalam pernikahan, kehadiran anak dianggap sebagai anugrah yang tak ternilai harganya. Tapi, bila anak terlahir dari hubungan di luar nikah, maka ia pun dianggap sebagai aib. Tak jarang, sebelum ia lahir ke dunia, orangtuanya berusaha menggugurkannya. Setelah lahir pun, seringkali ia hanya dibuang begitu saja, seperti sampah yang tak berharga.

Adapun mengenai nasab anak dari perbuatan zina dinasabkan pada ibunya. Meskipun bapak bayi itu sudah menikah dengan ibunya, tapi jika si anak lahir dari perbuatan di luar nikah, maka ia tetap dinasabkan pada ibunya. Jika anak itu perempuan, maka kelak bapaknya (secara biologis) tidak boleh menjadi wali nikahnya! Jadi kehamilan di luar nikah, memang membawa madharat yang panjang....

Pernikahan Tidak Lagi Sakral
Terlepas dari sah atau tidaknya pernikahan 'pemilu' ini, biasanya tidak akan membawa kebahagiaan yang langgeng dalam rumah tangga. Sebab pernikahan sudah kehilangan makna, tidak sakral lagi. Tak ada ‘malam pertama’ yang indah nan penuh kejutan. Karena semua dirasakan sebelum menikah. Mungkin, yang ada justru kejenuhan, penyesalan dan keterpaksaan.

Rumah tangga yang seperti itu biasanya hanya akan terasa ‘gersang’, dan tiada lagi kehangatannya. Mengapa? Karena seringkali mereka menikah, dalam keadaan terpaksa. Khususnya bagi pihak laki-laki. Tak jarang, bila dulunya si gadis memiliki banyak pacar, maka lelaki yang menikahinya tiba-tiba ‘berubah pikiran’ dengan tidak mengakui bahwa bayi yang dikandung isinya itu adalah anaknya. Maka, pihak istrilah yang paling menderita bila ini terjadi.

Kiamat sudah Dekat
Salah satu tanda makin dekatnya hari kiamat adalah menyebarnya maksiat, termasuk maraknya zina. Hari ini kita saksikan, maksiat ada di mana-mana. Zina pun sudah menjadi hal biasa yang dilakukan berbagai kalangan. Lalu, masihkah kita perlu bertanya, bila azab Allah datang silih berganti, semua ini salah siapa?

Barangkali memang kiamat sudah dekat, dan kiamat kecil bagi kita, adalah saat malaikat maut menjemput. Karena itu, mari kita berbekal. Jangan tukar kenikmatan sesaat, dengan siksa di akhirat yang kekal. Wallahu a’lam.
MediaMuslim.Info

Tuesday, November 13, 2007

Kuku Pakai Kutek


Apa yang disebut pewarna kuku adalah sesuatu yang diletakkan diatas kuku yang digunakan oleh wanita dan memiliki lapisan permukaan. Benda ini tidak boleh digunakan jika ia akan mengerjakan shalat karena benda ini akan menghambat sampainya air ke kuku. Dan segala sesuatu yang menghambat sampainya air tidak boleh digunakan oleh orang yang berwudhu atau mandi wajib.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: "Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian" (QS: Al-Maidah: 6)

Maka wanita yang menggunakan pewarna kuku akan menghalangi sampainya air ke kuku dan ia tidak dapat dikatakan telah membasuh tangannya (dalam keadaan seperti ini) Ini berarti ia telah meninggalkan suatu kewajiban dalam berwudhu atau mandi wajib.

Adapun penggunaannya bagi wanita yang tidak mengerjakan shalat seperti wanita haidh maka tidaklah mengapa, kecuali apabila hal ini termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan khusus wanita kafir maka ia tidak boleh menggunakannya karena itu berarti menyerupai mereka.



Dan saya telah mendengarkan sebagian orang berfatwa bahwa perbuatan ini sejenis dengan menggunakan khuf (sejenis kaos kaki yang terbuat dari kulit) bahwa boleh saja seorang wanita menggunakan pewarna kuku selama sehari semalam jika ia tidak bepergian dan selama tiga hari jika dalam perjalanan. Namun, fatwa ini adalah fatwa yang salah, karena tidak semua yang menutupi anggota tubuh seseorang dapat disamakan dengan khuf, karena mengusap khuf dibolehkan oleh syariah disebabkan hal itu memang benar-benar diperlukan secara umum, karena kaki membutuhkan perlindungan dan penutup sebab ia langsung bersentuhan dengan tanah, batu, hawa dingin dan sebagainya. Karena syariah mengkhusukan bolehnya mengusap diatas khuf.

Barangkali mereka juga mengkiaskannya denngan membasuh surban. Dan, ini adalah dalil yang salah karena surban itu tempatnya dikepala, sementara kewajiban wudhu terhadap kepala telah diringankan pada asalnya (cukup mengusap sekali-pent) berbeda dengan tangan yang harus dibasuh. Karena Rasulullah melarang wanita menggunakan sarung tangan padahal keduanya menutupi kedua tangan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh mengkiaskan jenis penutup lain yang menghalangi sampainya air terhadap surban dan khuf. Dan merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu berusaha mengerahkan kesungguhannya mencari kebenaran, serta tidak memberikan suatu fatwa kecuali bila ia merasakan bahwa Alloh Ta'ala akan menanyainya tentang fatwa tersebut, karena hal tersebut mengungkapkan syariah Alloh Ta'ala. Dan, Allohlah pemberi petunjuk menuju jalan yang benar.mediamuslim.info

Thursday, November 8, 2007

Dahstatnya .......Cinta!!!!


"Cinta", layaknya makanan pokok, istilah yang satu ini tidak pernah pudar sepanjang jaman. Selalu hadir dimanapun dan kemanapun kita berpaling. Betapa Dasyatnya Fitnah Cinta.... sehingga orang yang sedang dilanda cinta lazimnya akan terfokus untuk mendapatkan yang dicintainya. Akibatnya, tidak sedikit yang menjadi lalai dari mencintai Alloh serta Rasul-Nya




Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Patutkah kamu mengambil dia (iblis) dan turunan-turunannya sebagai wali selain daripada-Ku , sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Alloh) bagi orang-orang yang zalim." (QS: Al-Kahfi: 50).

Sesunguhnya seseorang yang bercita-cita tinggi tidak akan terpengaruh oleh cinta yang bisa menghalangi ketenangan, membuat tidur tidak bisa nyenyak, membuat bingung akal pikiran, dan bahkan bisa membuat gila. Betapa sering terjadi seseorang yang sedang dimabuk cinta menghabiskan harta dan mengorbankan jiwa serta kehornatannya demi yang dicintainya. Bahkan ia rela mengorbankan agama dan dunianya.

Cinta sanggup membuat tuan menjadi pelayan, dan penguasa menjadi budak. Anda lihat, banyak orang yang sudah terlanjur masuk dalam jerat cinta ingin keluar darinya. Akan tetapi, hal itu mustahil. Betapa banyak fitnah cinta yang menjebloskan orang-orang yang bersangkutan ke dalam Neraka Jahim, menjerumuskan mereka pada siksa yang sangat pedih, dan membuat nereka meneguk air nereka yang panas mendidih. Wallohu A'lam
mediamuslim.info

Tuesday, November 6, 2007

Beberapa Masalah Keuangan Yang Melanggar Syariat

Muncul masalah penting yang menjadi sebuah fenomena, yaitu; sebagian kaum muslimin, saat melakukan mu’amalah dengan saudaranya sesama muslim, ia kurang menjaga komitmen terhadap aturan-aturan syari’at, karena terpengaruh oleh semangat berukhuwah yang menggelora.
Memang semangat ukhuwah adalah sebuah keharusan dan tun-tutan. Ia adalah nikmat Allah سبحانه وتعلى yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shaleh. Akan tetapi semangat yang menggelora itu tidak boleh mengalahkan aturan-aturan syari’at, sehingga menyebabkan mu’amalah menjadi haram.


Pada kenyataannya, mu’amalah-mu’amalah yang terjadi antar se-sama ikhwah (saudara) telah terkotori oleh berbagai pelanggaran syari’at. Dan diantaranya adalah:

Tidak mencatat utang dan pinjaman
Seorang muslim meminjamkan sejumlah harta kepada saudara-nya sampai batas tertentu yang disepakati tanpa mencatatnya. Ia mengira bahwa permintaan untuk mencatat bertolak belakang atau mengurangi tingkat ukhuwah.

Padahal Alloh سبحانه وتعلى telah mewajibkan kita untuk mencatat utang. Alloh سبحانه وتعلى berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS: Al-Baqarah: 282).

Tidak dicatatnya utang akan berdampak kepada hilangnya ba-nyak hak, sebab umur manusia ada di tangan Alloh. Selain itu juga dapat memunculkan kecurigaan dan keraguan serta rusaknya jalinan ukhuwah saat terjadi kelupaan, kesalahan, atau perubahan jiwa.

Memanfaatkan rasa malu dan rasa tidak enak
Seorang saudara memperlambat pembayaran atau penunaian hak-hak yang menjadi tanggungan-nya, padahal ia mampu. Dalam hal ini ia mengeksploitasi rasa malu dan rasa tidak enak saudaranya.

Ini merupakan pelanggaran syari’at Alloh سبحانه وتعلى. Karena Rasululloh صلى الله عليه وسلّم telah men-jelaskan dengan sabdanya:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ رواه الجماعة

“Penundaan seorang yang mampu adalah kezhaliman.” (HR: Jama’ah).

Orang mampu, yang memperlambat penunaian hak yang menjadi kewajiban-nya haruslah dihukum. Dasarnya adalah hadits Rasululloh صلى الله عليه وسلم:

لَيُّ الْوَاجِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ رواه البخاري معلقا ووصله أحمد وإسحاق وأبو داود والنسائي وإسناده حسن

“Penundaan orang yang sudah ber-punya (mampu membayar) menghalal-kan harga dirinya dan menghalalkan penimpaan hukuman padanya.” (HR: Bukhari secara mu’allaq dan di-maushul-kan oleh Ahmad, Ishaq, Abu Dawud dan An-Nasa’i dan berkata Syaikh Al Albani sanadnya hasan).

Oleh karena itu, seorang muslim ti-dak boleh memanfaatkan perasaan malu saudaranya dan rasa tidak enaknya, lalu ia mengambil sesuatu darinya yang ia tidak berhak atasnya, atau ia memper-lambat diri dalam membayar hak-hak yang menjadi tanggungannya kepada saudara-saudaranya, padahal ia mampu.

Justru ukhuwah yang jujur seharusnya mendorongnya untuk menjaga harta saudaranya, dan ia mencintai untuk sau-daranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.

Tidak menghitung saat menerima harta atau uang dari orang lain
Sering sekali seorang akh sembrono dalam masalah menghitung harta atau uang saat menerima dari saudaranya, ia berprasangka bahwa hal ini akan mem-pengaruhi hubungan persaudaraan, atau akan menyinggung kejujuran dan ama-nah.

Saat seorang muslim menghitung hartanya di kemudian hari, ternyata jum-lahnya kurang atau lebih, ia kembali kepada saudaranya dan memberitahu-kannya tentang kekurangan atau kele-bihan ini. Nah, di sana ada banyak ke-mungkinan bagi munculnya kecurigaan. Hal ini sering sekali menyinggung rasa persaudaraan. Saat seorang muslim me-nerima harta dari muslim lainnya, hi-tunglah terlebih dahulu di hadapannya. Dengan cara demikian, ia tetap menjaga semangat ukhuwah di antara keduanya.

Memberikan rekomendasi kerja atas dasar perasaan
Seorang muslim memberikan rekomendasi kerja kepada saudaranya bertolak pada perasaan dan bukan atas dasar kecakapan. Maka dampak-dampak yang dapat ditimbulkannya adalah kuali-tas pelaksanaan menurun, produktifitas melemah dan kesulitan mencari jalan keluar darinya (memecatnya) karena takut menyinggung rasa ukhuwah dan cinta kasih karena Alloh.

Dalam hal ini terdapat pelanggaran syari’at Alloh, dimana amanah dalam memberikan rekomendasi hendaklah di-dasarkan pada nilai-nilai iman dan akhlak serta nilai-nilai kecakapan teknis. Alloh سبحانه وتعلى telah memerintahkan kepada kita agar seharusnya seleksi dan rekomendasi itu didasarkan pada Al-Qiyam (nilai, prestasi), al-quwwah (kekuatan, khususnya ilmu pengetahuan, dan kafaah (kecaka-pan). Landasan hal ini adalah firman Alloh سبحانه وتعلى artinya: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); se-sungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengeta-huan.” (QS: Yusuf: 54-55).

Dan firman Alloh سبحانه وتعلى, artinya: “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS: Al-Qashash: 26).

Berkenaan dengan ini Rasululloh سبحانه وتعلىbersabda:

مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَـيْهِمْ أَحَدًا مُحَابَاةً فَعَلـَيْهِ لَعْـنَةُ اللهِ لاَ يَقْـبَـلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً حَـتَّى يُدْخِلَهُ جَـهَـنَّمَ رواه أحمد والحاكم وقال: هذا حديث صحيح الإسناد

“Siapa yang menjadi penguasa atas suatu urusan kaum muslimin, lalu ia mengangkat seseorang menjadi pe-nguasa (pegawai) atas mereka berda-sarkan kolusi atau nepotisme, maka atasnya laknat Allah, Allah سبحانه وتعلى tidak menerima darinya pertukaran (imba-lan) atau ganti sehingga Dia mema-sukkannya ke dalam Neraka.” (HR: Ahmad dan al-Hakim, ia berkata “Isnadnya shohih”).

Inilah beberapa contoh yang menjelaskan adanya pemahaman yang keliru dalam pemahaman syari’at Islam di bi-dang mu’amalah yang berkenaan dengan harta.

Apabila komitmen dengan aturan-aturan syari’at telah dilakukan maka akan muncul berbagai fenomena ukhuwah antar sesama kaum muslimin dalam praktek-praktek mu’amalah maliyah (yang berkaitan dengan harta), seperti:

1. Tidak akan bermu’amalah dengan musuh-musuh Islam
Seorang muslim akan mengutamakan bermu’amalah dengan saudaranya sesama muslim secara haq dan adil. Sebab pada yang demikian itu terdapat i’anah (membantu) dan taqwiyah (penguatan) kepadanya. Hal ini juga menjadi penye-bab tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha mereka dalam menghadapi persai-ngan keras, lebih-lebih lagi dari musuh-musuh Islam dengan segala perbedaan manhaj dan bentuk mereka.

Tentunya ini tidak berarti bahwa syari’at Islam mengharamkan bermu’amalah dengan non muslim, selama hubungan kita dengan mereka normal-normal saja, atau istilah fiqihnya mereka bukan kafir harbi-. Akan tetapi di sana ada prioritas.

2. Tasamuh (toleran) dalam ber-mu’amalah
Seorang muslim harus toleran dalam bermu’amalah terhadap saudaranya dalam bermu’amalah dan melaksanakan haknya, agar bisa menyuguhkan kepada orang banyak contoh yang menunjukkan bagai-mana mu’amalah-mu’amalah Islam itu. Dengan ini kita telah melaksanakan wasiat Rasululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى رواه البخاري

“Semoga Alloh سبحانه وتعلى merahmati seorang lelaki yang mudah (toleran) jika menjual, membeli dan menagih).” (HR. Bukhari).

Beliau juga bersabda:

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنَكُمْ قَضَاءً رواه والبخاري ومسلم

“Orang-orang pilihan (baik) di antara kamu adalah orang-orang yang paling baik saat membayar utang.” (HR: Bukhari Muslim).

3. Memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan
seorang akh (saudara) muslim hendaknya toleran kepada saudaranya saat membayar (utang, tanggungan dan sebagainya) jika dia kesusahan atau kesulitan.
Dasarnya adalah firman Alloh سبحانه وتعلى, artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS: Al Baqarah: 280).

Rasululloh صلى الله عليه وسلّم telah berwasiat demi-kian saat bersabda, artinya: “Siapa yang memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan atau kesusahan atau memutihkannya sama sekali, maka Allah سبحانه وتعلى akan menaunginya pada hari kiamat di bawah naungan ‘arsy-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naunganNya.” (HR. At-Tirmidzi).

4. Memberi murah (diskon) dan qana’ah (puas) dengan sedikit keuntungan
Janganlah seorang muslim meman-faatkan hajat saudaranya kepada suatu barang atau sesuatu hal. Justru ia harus memberi kemurahan (diskon) kepadanya saat dia membutuhkannya. Ia harus qana’ah dan ridha dengan apa yang Allah berikan untuknya, sebab qana’ah adalah gudang yang tidak ada habisnya. Rasululloh سبحانه وتعلى telah bersabda:

قدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ رواه مسلم

“Telah beruntung orang yang masuk Islam dan diberi rizki secukupnya dan Alloh سبحانه وتعلى memberikan sifat qana’ah atas apa yang Dia berikan kepada-nya.” (HR: Muslim).

Semoga Alloh سبحانه وتعلى senantiasa melim-pahkan hidayah dan inayahNya kepada kita. (Al Fikrah)[Abu Ubaidillah]
MediaMuslim.Info

Saturday, November 3, 2007

Kepahlawanan Muslim Albania Selamatkan Seribu Yahudi dari Nazi

Tergerak Menolong karena Yakin Jadi Tiket ke Surga
Orang Islam kerap diidentikkan begitu anti-Yahudi. Namun, ternyata, muslim Albania rela mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan orang Yahudi. Semasa Perang Dunia II, sekitar seribu Yahudi mereka lindungi dari pembantaian Nazi Jerman yang dikenal dengan peristiwa Holocaust. Salah satunya dialami Yoshua Baruchowic dan muslim penyelamatnya, Ali Sheqer Pashkaj. Kisah-kisah heroik muslim Albania itu saat ini dihadirkan lewat pameran foto di Jerusalem.

Kendati sudah 66 tahun berlalu, kisah penyelamatan tersebut masih segar dalam kenangan Baruchowic. Kamis (1/11), untuk kali pertama, pria 84 tahun itu bertemu langsung dengan Enver Alia Sheqer, putra penyelamatnya. "Sangat menyenangkan. Inilah yang paling saya nanti-nantikan sepanjang hidup," ujarnya dalam pameran foto Holocaust di kompleks Yad Vashem, Mount Herzl, Jerusalem, Israel. Sayang, Baruchowic sudah tidak bisa bertemu lagi dengan pahlawannya, Pashkaj, yang meninggal pada 2004.

Sambil menitikkan air mata, survivor Holocaust yang kini tinggal di Meksiko tersebut lantas menceritakan kembali kepahlawanan Pashkaj. "Semuanya bermula pada 1941 saat konvoi pasukan Nazi yang hendak memindahkan para tahanan Yahudi mampir di toko milik keluarga Sheqer (Pashkaj) yang berada di pelosok pegunungan Albania," kisah Baruchowic. Ketika itu, usia dokter gigi tersebut masih sekitar 18 tahun.

Menurut Baruchowic, Pashkaj menyuguhkan anggur dan sejumlah makanan kepada para pengikut Adolf Hitler yang "bertamu" ke tokonya. Setelah pasukan Nazi yang mengawal tahanan Yahudi tersebut mulai mabuk, Pashkaj memberikan sebuah pesan kepada Baruchowic. "Supaya tidak ketahuan, dia menyelipkan pesan yang ditulis pada secarik kertas itu di dalam melon," ujarnya. Lewat pesan rahasia tersebut, Pashkaj menyuruhnya melarikan diri dan bersembunyi di dalam hutan.

Tanpa pikir panjang, Baruchowic langsung menjalankan perintah Pashkaj, yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Berlagak tak acuh, pria muslim Albania itu sukses "melindungi" Baruchowic yang mengendap-endap menuju hutan. Setelah pasukan Nazi meninggalkan tokonya, Pashkaj kemudian menjemput Baruchowic ke hutan. Selanjutnya, pemuda Yahudi itu tinggal bersama keluarga besar Sheqer (Pashkaj) di pegunungan Albania selama tiga tahun.

"Ayah saya adalah seorang muslim yang taat. Dia yakin bahwa menyelamatkan nyawa seseorang akan membuatnya masuk surga," ujar Enver Sheqer. Menurut dia, sang ayah tergerak untuk menolong Baruchowic karena prinsip "Besa" (menepati janji) yang dipegang teguh masyarakat Albania. Untuk mengenang kegigihan pahlawan-pahlawan Albania itu, pameran fotografi di Yad Vashem tersebut diberi tajuk "BESA: A Code of Honor - Muslim Albanians Who Rescued Jews During the Holocaust."

Selama beberapa dekade sejak Nazi dikalahkan, Baruchowic dan keluarga besar Sheqer selalu berkirim kabar lewat surat. "Kami juga sering bertukar foto keluarga," ungkap Enver Sheqer yang dipanggil Baruchowic dengan sebutan adik. Pria 50 tahun itu menambahkan bahwa keluarga besarnya berkali-kali mengundang Baruchowic berkunjung ke Albania. Namun, undangan tersebut selalu ditolak. Awalnya karena Albania dikuasai komunis, tapi sekarang carut-marut politik negeri itulah yang menjadi alasan Baruchowic. (ap/hep)

Kebodohan termasuk sifat penghuni neraka

Salah satu hal yang menunjukkan begitu pentingnya ilmu syar'i adalah bahwasanya kebodohan merupakan sifat penghuni neraka. Sebaliknya, seseorang yang diberi kemudahan untuk memahami ilmu syar'i dan mengamalkannya menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan padanya sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
من يرد الله به خيراً يُفقهه في الدين

Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya pandai dalam agamanya (HR. Bukhari dan Muslim)
Kebodohan termasuk Sifat Penghuni Neraka

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, bahwa di antara sifat penghuni neraka adalah bodoh, dan bahwa Dia menutup pintu-pintu ilmu bagi mereka. Allah Ta'ala berfirman menjelaskan tentang penghuni neraka,

فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لِّأَصْحَابِ السَّعِيرِ * وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala (Al-Mulk: 10-11)

Mereka mengakui bahwa ketika mereka di dunia mereka tidak mau mendengar dan tidak berpikir. Pendengaran dan berpikir ialah landasan ilmu dan dengan keduanya ilmu didapatkan. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A'raaf: 179).

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta'ala menjelaskan bahwa mereka tidak mendapatkan ilmu dari salah satu tiga sumber ilmu, yaitu akal, pendengaran,dan penglihatan, seperti difirmankan Allah ta'ala pada ayat yang lain,

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ

Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).(Al-Baqarah: 18).

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.(Al-Hajj: 46).

وَلَقَدْ مَكَّنَّاهُمْ فِيمَا إِن مَّكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُم مِّن شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُون

Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya (Al-Ahqaf: 26).

Seperti yang Anda lihat pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta'ala melukiskan orang-orang yang celaka itu tidak mempunyai ilmu. Selain itu, Allah subhanahu wa ta'ala menyerupakan mereka terkadang dengan binatang ternak, terkadang dengan keledai yang mengangkut muatan, terkadang menjadikan mereka lebih sesat daripada binatang ternak, terkadang menjadikan mereka sebagai makhluk yang paling buruk di sisi-Nya, terkadang menjadikan mereka sebagai orang-orang mati yang tidak hidup, tekadang menjelaskan bahwa mereka berada dalam kegelapan kebodohan dan kesesatan, terkadang menjelaskan bahwa di hati mereka terdapat penyekat, di telinga mereka terdapat penutup, dan di mata mereka terdapat penghalang.

Ini menunjukkan jeleknya kebodohan, kecaman untuk orang-orang bodoh, dan murka Allah subhanahu wa ta'ala untuk mereka. Allah subhanahu wa ta'ala mencintai orang-orang berilmu, memuji mereka, dan menyanjung mereka seperti telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, Allah tempat meminta pertolongan.

Mengetahui Agama termasuk tanda-tanda kebaikan

Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Muawiyah radhiallahu’anhu yang berkata, aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

من يرد الله به خيراً يُفقهه في الدين

Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya paham dalam agamanya (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan, bahwa barangsiapa tidak dikondisikan Allah Ta'ala mengerti agama, maka Allah tidak menghendaki kebaikan padanya, barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah maka Dia membuatnya memahami agama, dan barangsiapa telah dikondisikan Allah memahami agamanya, berarti Allah menghendaki kebaikan padanya, jika yang dimaksud dengan pemahaman di sini yaitu ilmu yang menghasilkan amal perbuatan.. Tapi, jika yang dimaksud dengan pemahaman adalah ilmu semata, itu tidak menunjukkan bahwa orang yang telah memahami agama berarti telah dikehendaki balk oleh Allah, karena pemahaman menuntut munculnya keinginan untuk berbuat baik, wallahu a'lam.

Diambil dari Buah Ilmu, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah
perputakaan islam

Perlindungan Islam Terhadap Jiwa dan Harta

Perlindungan Islam Terhadap Jiwa dan Harta
By suryadhie

Allah azza wa jalla berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisaa:29)
Agama Islam mengakui dan melindungi hak milik perseorangan, asal diperolehnya dengan jalan yang halal.

Sebab itu, diperintahkan kepada orang-orang beriman, supaya jangan memakan atau mengambil harta sesamanya dengan jalan yang tidak halal. Itu namanya memakan harta yang haram. Mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak halal itu banyak macamnya, misalnya dengan jalan mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba.

Salah satu jalan yang dihalalkan pengambilan dan pertukaran harta ialah perniagaan, jual beli yang dilakukan suka sama suka antara sipenjual dan si pembeli dengan cara jujur dan tidak ada penipuan di dalamnya. Termasuk mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, memajukan perkara ke depan pengadilan, supaya menjadi sah menurut hukum secara lahir, sedang pada hakikatnya adalah harta orang lain. Allah SWT berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah:188)

Dapatlah dipahami bahwa putusan hakim (pengadilan) tidak dapat menjadikan yang haram itu menjadi halal menjadi haram pada sisi Tuhan, karena yang haram tetap haram dan yang halal tetap halal. Nabi saw. sesudah memberikan keputusan tentang suatu perkara harta benda, beliau pernah mengucapkan bahwa beliau memutuskannya menurut apa yang kelihatan menurut lahirnya, tetapi mungkin salah seorang di antara yang berperkara, yang satu lebih pintar lebih pandai berbicara dan lawannya, sehingga beliau memenangkan orang itu. Selanjutnya beliau memperingatkan, kalau putusan itu tidak tepat, berarti beliau memberikan kepada orang yang menang bara api. Kalau dia mau, silakan nengambi1nya sedikit atau banyak. Putusan Nabi sendiri tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Berkenaan dengan perniagaan sebagai suatu cara pemindahan dan peredaran harta yang dihalalkan, berdasarkan sukarela antara kedua belah pihak, si penjual dan si pembeli, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan perniagaan ini. Ada perniagaan yang haram disebabkan oleh beberapa keadaan, misalnya menjual barang yang haram, barang terlarang memakan, meminum atau memakainya dan barang yang berasal dari curian dan rampasan. Seterusnya menjual barang yang tidak terang keadaannya, belum tentu baiknya atau tidak dapat dikirakan berapa jumlah yang sebenarnya. Terlarang pula mengurangi sukatan, ukuaran dan timbangan.

Berkenaan dengan mengurangi sukatan, ukuran dan timbangan ini disebuutkan dalam firman Firman Allah SWT:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’:35)

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ.الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ.وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ.

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin:1-3)

Dalam melakukan perniagaan ini hendaklah ada kejujuran dan tidak ada penipuan. Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa Rasulullah saw pada suatu waktu lewat di tempat orang menjual bahan makanan dan beliau tertarik melihatnya. Kemudian beliau memasukan tangannya dalam bahan makanan itu dan tangan Beliau kelihatan basah. Nabi bertanya kepada penjual bahan makanan, apa sebabnya begitu? Dijawab karena kena hujan. Nabi bersabda: “Mengapa tidak diletakkan sebelah atas supaya kelihatan. Kemudian beliau memberikan ancaman keras, dengan sabda beliau yang artinya:

“Siapa yang menipu kita, dia bukan golongan kita”. (HR. Muslim).

Kaurn saudagar apabila menjual barang yang ada cacatnya, hendaklah hal itu diterangkan dan siapa yang mengetahuinya wajib pula menerangkannya kepada si pembeli. Sabda Beliau yang artinya:

“Seseorang menjual barang yang ada cacatnya, wajib menjelaskan cacat itu dan bagi orang yang mengetahuinvu, wajib pula menjelaskannya”.(Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi).

Di samping perlindungan terhadap hak milik, diperlukan pula perlindungan terhadap nyawa. Sebab itu terlarang mumbunuh orang, apalagi membunuh diri sendiri, karena Allah itu sangat sayang kepada hambaNya. Membunuh itu adalah suatu kejahatan dan dosa besar, bisa menggemparkan dan mengganggu keamanan masyarakat. Sebab itu, dalam ayat lain disebutkan, bahwa siapa yang melanggar hak milik dan membunuh orang kepadanya diancam akan beroleh siksaan neraka di hari akhirat dan hukum kisas di dunia.

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

”Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisaa:30)

Apabila perlindungan terhadap hak milik dan nyawa dapat berjalan dengan baik, tentu akan terciptalah keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat. Sebaliknya dengan tidak ada perlindungan terhadap hak milik dan nyawa, akan terjadilah kekacauan dan silang sengketa yang tidak habis-habisnya.

Thursday, November 1, 2007

Liang Kubur, Awal Perjalanan Kita di Akhirat

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أما بعد

Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya:

تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟

“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, `Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya`. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, `Nyawa siapakah yang amat mulia itu?` `Ini adalah nyawa fulan bin fulan`, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, `Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.`

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, `Siapakah rabbmu?`, `Rabbku adalah Allah` jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, `Apakah agamamu?`, `Agamaku Islam` sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, `Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?` “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. `Dari mana engkau tahu?` tanya mereka berdua. `Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya`. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, `(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya`. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, `Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu`. Mukmin tadi bertanya, `Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan`. `Aku adalah amal salehmu` jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, `Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, `Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!`. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, `Nyawa siapakah yang amat hina ini?`, `Ini adalah nyawa fulan bin fulan` jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

Saat itu Allah berfirman, `Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi`, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, `Siapakah rabbmu?`, `Hah hah… aku tidak tahu` jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, `Apakah agamamu?` “Hah hah… aku tidak tahu` sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, `Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?` “Hah hah… aku tidak tahu` jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, `Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya`. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, `Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu`. Orang kafir itu seraya bertanya, `Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!`, `Aku adalah dosa-dosamu` jawabnya. `Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat` seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.

Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:

  1. Ikhlas
  2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.

Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))

Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86) muslim.or.id

Friday, October 26, 2007

Belajar Apa Dulu?

MediaMuslim.info- Kita semua telah tahu bahwa berIslam itu dimulai dari menuntut ilmu tentang Islam itu sendiri. Tidak langsung mengamalkan suatu amalan yang amalan itu mungkin belum jelas apakah ada dasarnya dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Dan juga tidak langsung berdakwah dengan ilmu yang pas-pasan. Lalu jika kita mau belajar Islam, sebenarnya apa yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dahulu?
Mari kita pikirkan sejenak! Agama ini datang dari Pencipta kita, dan disampaikan oleh RasulNya. Tujuan agama ini adalah menegakkan ibadah kepada Pencipta kita tersebut dengan cara-cara yang telah disampaikan oleh Rasulnya. Jadi sebelum kita belajar Islam lebih dalam, maka seharusnyalah kita mengetahui siapa Pencipta kita itu, dan bagaimana cara berinteraksi denganNya. Juga mengetahui siapa RasulNya dan bagaimana kita bersikap terhadap beliau.
Dua hal tersebut tercakup dalam ilmu yang disebut ‘aqidah. Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Jika ada orang yang berkata, “ Saya ber’aqidah begini”. Maksudnya adalah, ia mengikat hati terhadap sesuatu tersebut. Singkat kata, ‘aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Secara terinci, aqidah adalah rukun iman, yaitu iman kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik dan yang buruk. Jadi, ilmu Islam yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dahulu adalah ‘aqidah.Mungkin kita masih bertanya-tanya, mengapa demikian?
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “ Barang siapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: An-Nahl : 97).
Pada ayat di atas, Alloh Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa Ia akan memberi pahala kepada laki-laki dan perempuan yang beramal baik dan dalam keadaan beriman. Jadi, Alloh Subhanahu wa Ta'ala mensyaratkan keimanan bagi seseorang yang beramal baik agar orang itu diberi pahala. Jika orang itu beramal baik yang banyak sekali, namun ia tidak mempunyai keimanan, maka Alloh Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memberi pahala kepadanya. Maka keimanan tersebut merupakan syarat mutlak bagi seseorang jika ia ingin selamat dunia akherat.Sedangkan tadi telah dijelaskan bahwa keimanan itu termaktub dalam rukun iman. Dan rukun iman itulah inti aqidah Islam.
Maka inilah sisi pentingnya ‘aqidah Islam. Jika seseorang belajar tentang ilmu fiqh sedalam-dalamnya, kemudian ia beramal sebanyak-banyaknya, namun tidak pernah mempelajari ‘aqidah Islam, maka jurang kehancuran telah siap menelannya.Sangat mungkin sekali ia berbuat syirik namun ia tidak pernah mengetahui hal tersebut, karena ia tidak mau mempelajari ‘aqidah Islam. Padahal ia telah beramal banyak. Karena keengganannya untuk mempelajari ‘aqidah Islam itulah, yang membuat ia terjerumus ke dalam perbuatan syirik, sehingga syirik tersebut membuat amalnya batal semuanya tak bersisa.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “ Jika kamu mempersekutukan (Alloh), niscaya benar-benar akan terhapus semua amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS: Az-Zumar: 65).
Inilah pentingya ‘aqidah! Dengan mempelajari dan menegakkan ‘aqidah Islamiyah-lah kita akan selamat dunia akhirat.Hal yang pertama sekali harus kita pelajari dalam ilmu ‘aqidah adalah tentang dua kalimat syahadat. Mengapa?Secara akal, dua kalimat syahadat inilah yang bisa membuat seseorang dari kafir menjadi muslim. Maka sungguh aneh jika seorang muslim tidak pernah mempelajari kalimat yang dengannya kita bisa selamat dari neraka. Dan sungguh tergesa-gesa sekali jika kita meninggalkan kalimat syahadat, dan langsung mempelajari ilmu lain.
Padahal kalimat inilah yang mengandung tauhidullah (pengesaan terhadap Alloh Subhanahu wa Ta'ala) yang merupakan tugas pokok para Rasul dari Nabi Nuh ‘alaihissalaam sampai Rasul terakhir, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), sembahlah Alloh saja, dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Alloh) itu.’.” (QS: An-Nahl: 36).
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelun kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘ Bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’.” (QS: Al-Anbiyaa’: 25).
Dalam surat Al-A’raf, Alloh Subhanahu wa Ta'ala menceritakan bahwa Nabi Nuh, Huud, Shalih, Syuaib, dan lain-lain itu sama semua seruannya, yaitu menyeru kepada penyembahan Alloh Subhanahu wa Ta'ala semata (tauhid), yang artinya: “ Hai kaumku, sembahlah Alloh, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selainNya.” (QS: Al-A’raaf: 59, 65, 73, 85).
Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Alloh dan bahwa Muhammad adalah Rasululloh.” (HR: Al-Bukhary dan Muslim).
Dari dalil-dalil di atas, telah jelas bagi kita bahwa tugas inti dan yang paling pokok dari para Rasul Alloh Subhanahu wa Ta'ala adalah menyampaikan kalimat tauhid, menegakkan penyembahan hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala saja. Jika kita tidak mempelajari aqidah, maka tujuan pengutusan rasul Allah pada diri kita tidak tercapai, dan akibatnya hanya akan menjadi kerugian pada diri kita suatu hari nanti.Selain memang dakwah kepada tauhidullah itu adalah tugas inti dakwah para rasul, maka Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penyampaian kalimat syahadat menjadi materi dakwah yang pertama kali harus diterangkan kepada umat.
Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke Yaman, yang artinya: “ Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali dakwah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Laa ilaaha illaLLaah “
–dalam riwayat lain disebutkan: “Supaya mereka mentauhidkan Alloh” - Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu dakwahkan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam….” (HR: Al-Bukhary dan Muslim).
Jika begitu, maka ilmu Islam yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dulu dan kita utamakan adalah ‘aqidah, khususnya tentang kalimat syahadat.Maka jangan tunggu-tunggu lagi, mari kita pelajarilah rukun iman, koreksi pemahaman kalimat syahadat kita, bisa jadi belum sempurna. Tegakkan tauhidulloh, sembahlah Alloh Subhanahu wa Ta'ala saja, jauhkanlah diri dari segala macam bentuk syirik dan segala macam penyimpangan dalam ‘aqidah. Jangan sampai keengganan kita untuk belajar ‘aqidah Islam menjadi bumerang bagi diri kita sendiri pada waktu menghadap Alloh Subhanahu wa Ta'ala nanti. Wallaahu a’lam. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan kita hidayah dan bimibingannya selalu.

Menuntut Ilmu

Mungkin sudah belasan tahun atau puluhan tahun kita menjadi insan muslim. Namun dengan bilangan waktu yang sedemikian banyaknya tersebut, apakah kita sudah berIslam dengan urutan dan tata cara yang benar ? Jika jawabannya adalah belum, maka sungguh ironis hal tersebut.
Berapakah waktu yang telah kita sediakan untuk merenungi perjalanan yang telah kita lalui sebagai seorang insan muslim ? Jawabannya terserah pada diri kita masing-masing.
Alhamdulillah, jika kita sekarang mulai sadar. Lihatlah benar-benar pada diri kita masing-masing ! Apakah kita memang telah telah berIslam dengan cara yang benar, memulainya dengan cara yang benar ? Atau kita cuma ikut-ikutan dengan adat kebiasaan orang tua, teman, atau masyarakat sekitar tanpa tahu hakikatnya ?
Sehingga ujung ajaran Islam kita tidak tahu, pangkalnya pun tak kenal.Lalu sebenarnya bagaimana cara berIslam yang benar ?
Lebih khususnya bagaimana cara memulai berIslam yang benar itu ?
Sebenarnya, pertanyaan ini sangat relevan untuk dikemukakan terhadap diri kita. Alhamdulillah, Islam kini telah menyebar di mana-mana. Seruan untuk menegakkan sholat selalu berkumandang di mana-mana. Perintah untuk berinfaq disampaikan di setiap pengajian. Kewajiban berbakti pada orang tua selalu disampaikan di TPA-TPA. Perintah ini-itu tersebar di mana-mana. Sangat mungkin sekali seseorang yang baru melangkah ke jalan Islam akan bingung melihat begitu banyaknya, lengkapnya, dan sempurnanya ajaran Islam. Ia tidak tahu mana yang harus ia lakukan lebih dulu. Naik hajikah ? Atau membayar zakat maal yang belum ia bayar dulu ? Atau mewakafkan tanah untuk masjid ? Mungkin sekali ia bertanya, " Saya bingung dengan banyaknya perintah dalam Islam. Apa yang harus saya lakukan pertama kali untuk menegakkan ajaran Islam pada diri saya ?"
Itulah masalahnya. Bagaimana mengawali berIslam yang benar itu ?
Inilah jawabannya : Masalah yang sangat mendasar dan yang pertama kali harus dilakukan untuk menapaki Islam dengan cara yang benar adalah: Mencari ilmu tentang Islam itu sendiri, secara ringkas adalah : belajar Islam dulu sebelum mengamalkannya.Saking pentingnya ilmu tentang Islam itu, maka Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkannya pada setiap muslim dalam sebuah hadits yang artinya: "Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR: Ibnu Majah, sanadnya hasan).
Karena pentingnya ilmu Islam tersebut dan keharusan menjadikan ilmu itu sebagai awal dari segalanya, maka Imam Bukhory menulis satu bab tersendiri tentang hal tersebut, yaitu : " Bab : Ilmu itu didahulukan sebelum berucap dan berbuat". Beliau berdalil dengan firman Alloh subhaanahu wa ta'alaa, yang artinya: "Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Alloh... (QS: Muhammad: 19).
Secara akal sehat, memang benar pernyataan Imam Bukhory tersebut. Lihat saja, bagaimana mungkin seseorang bisa menegakkan sholat dengan benar padahal ia belum belajar bagaimana tata cara sholat yang benar tersebut. Bagaimana dia bisa berwudhu dengan benar sedangkan ia tidak pernah mau belajar bagaimana tata cara wudhu yang benar ? Bukankah orang yang mau belajar itu pasti lebih tahu dan lebih benar tata caranya daripada orang yang tidak pernah belajar? Maka suatu hal yang tidak akan pernah terbantahkan lagi bahwa menuntut ilmu agama dan mempelajarinya itu merupakan awal penegakan Islam, sebelum beramal dan berdakwah.
Pengertian keharusan mendahulukan ilmu sebelum beramal dan berdakwah tidaklah mewajibkan setiap muslim untuk menjadi seorang ulama yang faqih (paham) dalam semua masalah agama lebih dulu baru beramal dan berdakwah, namun yang dimaksudkan adalah: sebelum kita mengamalkan suatu amalan agama atau meyakini suatu keyakinan dalam agama, kita harus mengetahui bahwa amalan atau keyakinan tersebut ada dasarnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pengetahuan kita terhadap dasar amalan atau keyakinan tersebut sudah mencukupi bagi kita untuk mengamalkan amalan atau keyakinan tersebut, namun jika kita bisa menghafalkannya itu lebih baik.Namun ironisnya, sangat sedikit sekali orang yang memperhatikan masalah ini (mendahulukan berilmu sebelum beramal dan berdakwah). Bahkan sedikit sekali para da'i yang menekankan masalah ini kepada umat. Mereka menyampaikan perintah sholat, puasa, kewajiban ishlah (perbaikan keadaan umat), ekonomi Islam, politik Islam, bahkan sampai bagaimana mendirikan negara Islam, tapi hanya segelintir orang yang menyampaikan bahwa ilmu itu harus diraih lebih dulu sebelum beramal dan berdakwah.Akibat dari hal itu adalah makin merebaknya penyimpangan -penyimpangan dalam amaliyah Islam dan dakwah Islam.
Karena umat tidak pernah memperhatikan pentingnya ilmu sebelum beramal, maka yang terjadi adalah mereka bersemangat dan berlomba-lomba untuk beramal tapi tanpa didasari ilmu. Sehingga banyak sekali amalan-amalan yang tidak pernah ada sumbernya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah namun dipraktekkan oleh mayoritas umat Islam. Padahal Alloh subhaanahu wa ta'alaa berfirman, yang artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS: Al-Israa': 36).
alam ayat ini tersiratlah pemahaman bahwa Alloh subhaanahu wa ta'alaa telah melarang kita untuk mengikuti sesuatu yang tidak kita ketahui keadaannya.
Bukankah beramal tanpa mengetahui benar atau tidaknya amalan tersebut termasuk dalam larangan Alloh tadi ? Yang lebih parah lagi ialah munculnya da'i-da'i yang tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk berdakwah.
Mereka sudah ngalor-ngidul ngetan-ngulon berdakwah, baik di TPA, pengajian remaja, pengajian bapak-bapak, ibu-ibu, khotbah Jum'at, dan lain-lain, tapi ketika ditanya, " Apa saja rukun 2 kalimat syahadat? " ia jawab " Tidak tahu, mas.." Padahal 2 kalimat syahadat itu merupakan awal dari segala awal permasalahan agama. Semua amalan dan keyakinan agama pada dasarnya berpijak pada 2 kalimat tersebut. Jika awal dan dasar agama saja tidak paham, bagaimana dapat menegakkan Islam dengan benar? Bagaimana umat akan menjadi baik jika da'i yang membimbing umat saja tidak memahami Islam? Lalu apa yang ia dakwahkan? Jangan sampai terjadi seorang da'i tidak mau belajar Islam dengan benar sehingga malah membuat pemahaman sendiri tentang Islam kemudian ia dakwahkan padahal pemahaman yang ia buat malah menyimpang dari pemahaman yang benar. Na'uudzu billaahi min dzaalik!
Maka marilah kita bersadar diri! Bersegeralah untuk memulai Islam dengan cara yang benar, mulailah dengan mencari tahu tentang Islam, mulailah dengan membaca ilmu-ilmu agama, mencari dasar-dasar amalan yang jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Hadirilah majelis-majelis pengajian, simaklah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama, dan pahamilah maknanya serta introspeksi diri, apakah apa yang telah kita amalkan dan yakini selama ini benar-benar ada dasarnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Marilah kita raih ilmu, untuk selanjutnya kita amalkan dan dakwahkan! Wallaahu a'lam.

Thursday, October 25, 2007

Pacaran???

MediaMuslim.info- Seorang pemuda yang terlalu lama membujang, kadangkala merasa kesulitan untuk mencari calon istri, keberanian untuk bertandang dan meminang seorang gadis menjadi gamang karena terlalu banyak pertimbangan, akhirnya ... pernikahan menjadi sekedar angan-angan karena calon istri belum juga didapatkan. Sulitnya mencari calon istri. "PACARAN" tetap tidak diperbolehkan dan hukumnya haram.

Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan kungkungan nafsu, adapun manisnya perbuatan dan indahnya perkataan dalam pacaran, pada dasarnya hanyalah rayuan-rayuan belaka yang kosong dan hampa, yang mengandalkan permainkan kata-kata, untuk itu..hati- hatilah...Kebanyakan orang sebelum melangsungkan pernikahan biasanya 'berpacaran' terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru.

Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya HARAM hukumnya menurut syari'at Islam.
Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya" (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz ini dari riwayat Muslim dari shahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma)

Jadi dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan pacaran hukumnya HARAM.

Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran yaitu sangkaan sebagian orang yang menganggap bahwa kalau sudah tunangan/khitbah, maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami istri yang sah. Anggapan ini adalah salah. Dan perbuatan ini dosa besar.

Pemahaman Tentang "Dimanakah Alloh ?"


MediaMuslim.Info - Pertanyaan dimanakah Allah mungkin menggelitik sebagian kita kaum muslimin, seakan aneh masih membicarakan masalah ini, bukankah jelas Allah itu dekat sama kita, Allah itu ada dimana-mana selalu menyertai kita ?.

Inilah sebenarnya kesalahan dalam memahami arti pertanyaan "Dimanakah Allah ?". Justru pada dasarnya pertanyaan di atas terlontar manakala apa yang kita pahami selama ini salah. Seringkali kita tidak sadar bahwa pernyataan Allah itu ada dimana-mana, atau Allah itu dekat dengan kita tapi tidak bertempat atau yang lainnya itu keliru, sehingga kita tidak sadar apabila ditanya sesorang akan menjawab dengan mantap jawaban-jawaban di atas.
Perkara ini bukanlah perkara kecil, pemahaman yang benar tentang dimanakah Allah menjadi tuntutan mutlak bagi seorang muslim. Kesalahan fatal dalam memahami ini akan berbahaya bagi diri dan agamanya. Begitu pentingnya pemahaman keberadaan Allah sehingga menjadikan Rasulullah melepaskan seorang budak yang bisa menjawabnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah Allah itu sebenarnya berada ?
Jawabannya sudah jelas sebagaimana dipahami oleh seluruh sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seluruh ulama Ahlul Hadits bahwa Allah itu berada di atas Arsy di atas langit. Apa dasarnya mengatakan seperti itu ? Berikut kita bawakan tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalil-dalil yang mendukung kenyataan bahwa Allah itu berada di atas Arsy : Al-Qur’an, Hadits shahih, naluri dan cara berfikir yang sehat mendukung kenyatan bahwa Allah Subhanahu wa ta’alla berada di atas ‘Arsy.
Firman Allah yang artinya: "Allah yang Maha Rahman bersemayam di atas ‘Arsy". (Thaahaa: 5)
Pengertian ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari beberapa tabi’in.
Firman Allah yang artinya: "Apakah kamu merasa aman terhadap yang di langit? Bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu…"(Al-Mulk: 16).
Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumaa yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya.
Firman Allah yang artinya: "Mereka takut terhadap Rabb mereka yang berada di atas mereka". (An-Nahl: 50).
Firman Allah tentang Nabi ‘Isa ‘alaihi sallam yang artinya: "Tetapi Allah mengangkatnya kepada-Nya…".(An-Nisaa:158).
Firman Allah yang artinya: "Dan Dialah Allah (yang disembah) di langit…".(Al-An’aam:3). Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut, "Para ahli tafsir sependapat, kita tidak akan berkata sperti ucapan kaum Jahmiyah (golongan yang sesat) yang mengatakan Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka."
Adapun firman Allah yang artinya: "Dan Allah selalu bersamamu di mana kamu berada…".(Al-Hadid:4).
Maksudnya, Dia bersama kita, mengetahui, mendengar, dan melihat kita di mana pun kita berada. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudah ayat ini menjelaskan hal tersebut, seperti keterangan dalam Tafsir Ibnu Katsir Rahimahullahu ta’alla Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mi’raj ke langit ke tujuh dan difirmankan kepada beliau oleh Allah ‘azza wa jalla serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam , "Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?" (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam : "Sayangilah orng-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (Allah) akan menyayangimu." (HR. At-Tirmidzi).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang budak wanita, "Di manakah Allah?", Jawabnya, "Di langit.", Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, "Siapakah saya?" Dijawab lagi. "Engkau Rasul Allah" Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Merdekakanlah ia karena ia seorang mukminah." (HR. Muslim).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, "’Arsy itu berada di atas air, dan Allah berada di atas ‘Arsy, Allah mengetahui keadaan kamu." (HR. Abu Dawud, hasan)
Abu Bakar Ash-Shidiq berkata , "Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di langit, Dia Maha Hidup dan tidak Mati," (HR. Imam Darimi dalam Radd ‘alal Jahmiyyah)
‘Abdullah ibnul Mubarak Rahimahullahu ta’alla pernah ditanya, "Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?" Maka beliau menjawab, "Rabb kita berada di atas langit di atas ‘Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya".
Maksudnya Dzat Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, berbeda dan berpidah dengan makhluk-Nya, dan keadaan-Nya di atas ‘Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk Para Imam yang empat telah sepakat bahwa Allah Subhanahu wa ta’alla berada di atas ‘Arsy tidak ada seorang pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya Orang yang sedang shalat selalu mengucapkan Subhana Rabiyal a’laa (Maha Suci Rabb yang Maha Tinggi).
Ketika ia berdo’a juga mengangkat tangannya ke langit dan menengadahkan wajahnya ke langit Anak kecil ketika anda tanya di mana Allah dia akan segera menjawab berdasarkan naluri mereka bahwa Allah berada di langit Cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan Allah berada di langit, seandainya Allah Subhanahu wa ta’alla berada di semua tempat, niscaya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat , berarti Allah bisa berada di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha suci Allah dari anggapan yang demikian itu. Pendapat yang mengatakan Allah berada di segala tempat berarti Dzat Allah itu banyak, karena banyaknya tempat. Akan tetapi karena Dzat Allah itu satu dan mustahil banyak, maka pendapat tersebut adalah batil, jadi jelaslah Allah itu berada di langit, di atas ‘Arsy-Nya dan Dia bersama kita, Mengetahui, Mendengar, dan Melihat kita di mana pun kita berada.

Tuesday, October 23, 2007

Apa Sesudah Romadhon?


MediaMuslim.info- Kita telah berpisah dengan bulan Romadhon, bulan yang penuh berkah. Berpisah dengan siangnya yang begitu indah dan malamnya yang begitu harum semerbak. Kita berpisah dengan bulan Qur’an, bulan ketakwaan, kesabaran, Jihad, magfirah dan bulan pembebasan dari api neraka. Maka faedah apa yang sudah kita raih dari sekian banyak buah-buah Romadhon yang begitu agung dan naungan-Nya yang begitu luas?
Apakah dalam jiwa kita telah terwujud ketakwaan sehingga kita keluar dari madrasah Romadhon dengan predikat orang-orang yang bertaqwa? Dan apakah kita senantiasa sabar dalam ketaatan dan menjauhi ma’siat? Apakah kita telah mentarbiyah (mendidik) jiwa kita untuk melakukan berbagai bentuk jihad? Apakah kita telah berjihad melawan hawa nafsu dan mampu mengalahkannya ? Ataukah kita berhasil dikalahkan oleh kebiasaan-kebiasaan dan prilaku-prilaku buruk? Apakah kita telah berusaha sekuat tenaga untuk meraih rahmat, Magfirah-Nya dan pembebasan-Nya dari api neraka? Apakah….Apakah….Apakah…? Begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti hati seorang muslim sejati yang senantiasa mengoreksi dirinya dan menjawabnya dengan jujur dan terus terang.
Romadhon adalah madrasah imaniyah tempat persinggahan ruh untuk mempersiapkan bekal di sisa –sisa kehidupan kita di dunia. Maka kapan lagi seseorang akan mengambil bimbingan, pelajaran dan manfaat, untuk merubah kehidupannya jika ia tidak melakukannya pada bulan suci ini.Bulan Romadhon merupakan madrasah untuk mengadakan perubahan amalan, perilaku, kebiasaan dan akhlaq yang bertentangan dengan syariat Alloh Azza Wa Jalla.
Alloh 'Azza wa Jalla berfirman, artinya: "Sesungguhnya Alloh tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS: Ar Ra’du: 92)
Saudaraku yang tercinta ….. Saudariku muslimah.Jika kita termasuk orang-orang yang mampu meraih faedah-faedah Romadhon dan anda mewujudkan ketakwaan pada diri anda, berpuasa dengan benar, mengerjakan qiamullail dengan khusyu’ dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu maka hal tersebut dapat kita syukuri serta kita memohon kepada Alloh Azza Wa Jalla agar sikap tersebut konsisten sampai kembalinya ruh kehadirat-Nya.Maka hati-hatilah dan jangan sekali-kali termasuk orang-orang yang dimaksud dalam surat An Nahl ayat 92,
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah di pintal"
Apakah kita telah melihat seorang wanita yang memintal benang untuk dibuat sebuah baju kemudian ketika ia senang melihat baju tersebut ia menguraikan kembali pintalan-pintalan tersebut tanpa sebab! Maka apa komentar orang-orang terhadap perbuatan tersebut?Seperti inilah halnya seseorang yang kembali ke jalan kemaksiatan, kefasikan, kesesatan, kegelapan dan melepaskan ketaatannya kepada Alloh Azza Wa Jalla serta tidak lagi beramal sholeh setelah selesainya Romadhon setelah ia merasakan nikmatnya letaatan dan ketakwaan, nikmatnya berdo’a kepada-Nya ia kembali pada pahitnya dan sengsaranya kemaksiatan dan kegelapan !!Berkata Syaikh Shalih Fauzan bahwa: "Sesungguhnya kebanyakan dari manusia waktu-waktunya berlalu dengan sia-sia sesudah ied dengan begadang, tarian-tarian daerah, bermain yang melalaikan, sehingga mungkin saja mereka meninggalkan shalat-shalat pada waktunya atau shalat berjama’ah, seakan-akan mereka dengan perbuatan itu ingin menghapuskan pengaruh Romadhon pada jiwa-jiwa mereka jika mempunyai pengaruh, lalu memperbarui kehidupannya bersama syaithan yang jarang bermuamalah dengannya pada bulan Romadhon"Maka alangkah nistanya sekelompok manusia yang mengenal Alloh Azza Wa Jalla hanya di bulan Romadhon.
Imam Wuhabi bin Al Ward pernah melewati sekelompok manusia yang sedang asyik bermain pada hari ied, kemudian ia berkata kepada mereka: "Sungguh mengherankan kalian itu, kalau memang Alloh telah menerima puasa kalian apakah semacam ini cara kalian bersyukur dan jikaAlloh tak menerima amalan puasa kalian apakah semacam ini cara kalian takut
"Saudara-saudaraku tercinta…Ada beberapa indikasi yang menunjukkan terjerumusnya manusia dalam hal tersebut diantaranya:
Orang-orang sudah tidak lagi memperhatikan shalat berjamaah yang bisa kita lihat pada hari pertama di hari raya dimana pada saat Romadhon masjid dan mushalla selalu padat dengan para jama’ah shalat tarawih yang itu hukumnya sunnah tetapi setelah itu jama’ah mulai berkurang pada shalat lima waktu yang hukumnya wajib dan hal ini bisa menjadikan orang menjadi kafir jika meninggalkannya.
Menyebarnya kembali nyanyian, film-film, berhias dan menyingkap wajah (bagi wanita) dan bercampurnya pria dan wanita (bukan mahram) di tempat-tempat rekreasi serta pergi ke tempat-tempat hiburan pria dan wanita untuk pacaran dan lain-lain.
Melancong ke beberapa negara untuk kemaksiatan dimana orang-orang baik secara kolegial maupun individu berbondong-bondong mendatangi biro-biro perjalanan untuk memperoleh tiket ke luar negeri dengan tujuan negara-negara non Islam yang penuh dengan kekufuran, kemaksiatan, kerusakan moral dan lainnya.
Ini merupakan salah satu tanda tidak diterimanya amal –naudzubillahi- karena hakekat seseorang berpuasa adalah ia bahagia di hari ‘Iedul fitri, bertahmid dan bersyukur kepada Alloh Azza Wa Jalla atas kesempurnaan puasanya. Di waktu yang sama ia menangis karena khawatir Alloh Azza Wa Jalla tidak menerima ibadah puasanya. Sebagaimana dulu para pendahulu umat ini yang sholeh menangis selama 6 bulan setelah Romadhon untuk memohon kepada Alloh Azza Wa Jalla supaya ibadah puasanya diterima di sisi-Nya.Diantara indikasi diterimanya amalan ibadah seorang hamba adalah keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam hal ketaatan dan ketundukannya terhadap syari’at-syari’at Islam.
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu" (QS: Ibrahim: 7)
Artinya bertambahnya kebaikan baik zhohir maupun batin yang berupa bertambahnya keimanan dan amal sholeh. Oleh karena itu seandainya seorang hamba memiliki kesungguhan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Alloh Azza Wa Jalla maka kebaikan dan ketaatannya terhadap syariat-syariat-Nya akan meningkat dan mampu menjauhi kemaksiatan. Sebagaimana telah di katakan oleh para pendahulu yang sholeh: ”Syukur adalah meninggalkan kemaksiatan”Setiap seorang hamba harus senantiasa taat kepada Alloh Azza Wa Jalla dan komitmen dengan syari’at-syari’at-Nya serta istiqomah dengan agama-Nya.
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)" (QS: Al Hijr: 99)
Jangan bersikap seperti rubah yang beribadah kepada Alloh Azza Wa JAlla sebulan kemudian bermaksiat di bulan yang lain atau beribadah kepada-Nya di suatu tempat tapi bermaksiat di tempat yang lain atau !Namun hendaknya ia memahami bahwa Tuhan Pemilik Romadhon adalah juga Tuhan Pemilik bulan-bulan lain dan Ia Pemilik semua waktu dan tempat, agar senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus sampai ia kembali kehadirat-Nya dalam keadaan diridhai oleh-Nya.
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya" (QS: Fushshilat: 6)

Rasululloh ShallAllohu Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: "Katakan aku beriman kepada Alloh kemudian beristiqomahlah" (HR: Muslim)
Kalau seandainya puasa Romadhon telah selesai masih ada puasa-puasa sunnah lainnya seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa hari Senin dan Kamis, puasa di tengah bulan (tanggal 13,14 dan 15 bulan hijriyah), puasa ‘Asyuro dan Arofah dan lainnya. Kalau qiyamur Romadhon sudah berakhir maka masih ada qiyamullail yang disyariatkan dilakukan setiap malam.Dan seandainya shodaqoh dan zakat fitri di bulan Romadhon sudah ditunaikan, masih ada zakat wajib lainnya.
Demikianlah hakekat amalan sholeh yang bisa dilakukan sepanjang masa. Untuk itulah bersungguh-sungguhlah wahai Saudaraku seiman untuk senantiasa taat kepada Alloh Azza Wa Jalla dan jauhilah kemalasan dan kelesuan dan jika kita enggan melaksanakan amalan-amalan sunnah maka jangan sekali-kali meninggalkan dan melalaikan kewajibanmu seperti shalat lima waktu yang harus dilakukan tepat pada waktunya dan dengan berjama’ah dan jangan sekali-kali terjerumus kepada kemaksiatan dengan berkata-kata, makan, minum, melihat dan mendengarkan hal-hal yang diharamkan.Demi Alloh Azza Wa Jalla beristiqamahlah dan komitmenlah pada agama-Nya di sepanjang masa karena engkau tidak tahu kedatangan malaikat maut. Jangan sampai ia datang dan engkau dalam keadaan maksiat kepada Alloh Azza Wa Jalla.
Rasululloh ShallAllohu Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: "Ya Alloh, Pembolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agamamu" (HR: Ahmad). [Yudi Wahyudi]

Monday, October 22, 2007

Tradisi Jabat Tangan Dengan Bukan Mahrom

Pada zaman sekarang jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan hampir sudah menjadi tradisi. Tradisi yang mengalahkan akhlak islami yang semestinya ditegakkan. Bahkan sebagian pelakunya menganggap kebiasaan itu jauh lebih baik dan lebih tinggi nilainya dari pada syariat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala yang mengharamkannya. Sehingga ketika berdialog dengan sebagian umat Islam mengenai hukum syariat dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas tentu serta merta sebagian kita akan menuduh kita dengan sebagai orang kolot, ketinggalan zaman, kaku, sulit beradaptasi, ekstrim, hendak memutuskan tali silaturrahmi, menggoyahkan niat baik ….dan sebagainya.

Sehingga dalam masyarakat kita, berjabat tangan dengan anak (perempuan) paman atau bibi dengan istri saudara atau istri paman baik dari pihak ayah maupun ibu lebih mudah dari pada minum air.

Seandainya kita melihat secara jernih dan penuh pengetahuan tentang bahaya persoalan tersebut menurut syara’ tentu kita tidak akan melakukan hal tersebut.

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: "Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum besi, lebih baik daripada dia menyentuh yang tidak halal dia sentuh" (lihat Silsilah Al-Hadits As Shohihah 226)

Kemudian tidak diragukan sedikitpun lagi, hal ini termasuk zina tangan sebagaimana disabdakan oleh Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam, yang artinya: "Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluanpun berzina" (HR: Ahmad 1/ 412; shahihul jami’ 4126).

Sebagian kita tidak jarang beralasan berupa pernyataan "yang pentingkan hati", "hatikan bersih", "yang penting perasaan bersih", "yang penting pikiran bersih" dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan kita, adakah orang yang hatinya lebih bersih dari hati Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam? Namun begitu beliau mengatakan, yang artinya: "Sesungguhnya aku tidak menyentuh tangan dengan wanita" (HR: Ahmad, 6/357 dalam shahihul jami’ hadits no : 2509).

Beliau Shallallahu'alaihi wa Sallam juga bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita" (HR: Ath Thabrani dalam Al Kabir: 24/342, shahihul jami’: 70554)

Dan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, yang artinya: "Demi Alloh, tiadalah pernah tangan Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menyentuh tangan wanita walau sekali. Dan tiadalah beliau memba'iat kaum wanita, kecuali hanya dengan ucapan" (HR: Muslim 3/1489).

Perlu juga diketahui, berjabat tangan dengan lawan jenis, meski memakai alas (kaos tangan) hukumnya tetap haram.

Hendaknya kita takut kepada Alloh dan para orang-orang tua hendaknya tidak mengancam anak-anaknya yang shalih/shalihah karena tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya. Dan semoga kita mampu serta berupaya terus melaksanakan syariat Islam secara keseluruhan tanpa adanya tebang pilih berdasarkan hawa nafsu apalagi demi kepentingan kelompok dan kedudukan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. MediaMuslim.Info