Friday, October 26, 2007

Belajar Apa Dulu?

MediaMuslim.info- Kita semua telah tahu bahwa berIslam itu dimulai dari menuntut ilmu tentang Islam itu sendiri. Tidak langsung mengamalkan suatu amalan yang amalan itu mungkin belum jelas apakah ada dasarnya dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Dan juga tidak langsung berdakwah dengan ilmu yang pas-pasan. Lalu jika kita mau belajar Islam, sebenarnya apa yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dahulu?
Mari kita pikirkan sejenak! Agama ini datang dari Pencipta kita, dan disampaikan oleh RasulNya. Tujuan agama ini adalah menegakkan ibadah kepada Pencipta kita tersebut dengan cara-cara yang telah disampaikan oleh Rasulnya. Jadi sebelum kita belajar Islam lebih dalam, maka seharusnyalah kita mengetahui siapa Pencipta kita itu, dan bagaimana cara berinteraksi denganNya. Juga mengetahui siapa RasulNya dan bagaimana kita bersikap terhadap beliau.
Dua hal tersebut tercakup dalam ilmu yang disebut ‘aqidah. Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Jika ada orang yang berkata, “ Saya ber’aqidah begini”. Maksudnya adalah, ia mengikat hati terhadap sesuatu tersebut. Singkat kata, ‘aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Secara terinci, aqidah adalah rukun iman, yaitu iman kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik dan yang buruk. Jadi, ilmu Islam yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dahulu adalah ‘aqidah.Mungkin kita masih bertanya-tanya, mengapa demikian?
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “ Barang siapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: An-Nahl : 97).
Pada ayat di atas, Alloh Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa Ia akan memberi pahala kepada laki-laki dan perempuan yang beramal baik dan dalam keadaan beriman. Jadi, Alloh Subhanahu wa Ta'ala mensyaratkan keimanan bagi seseorang yang beramal baik agar orang itu diberi pahala. Jika orang itu beramal baik yang banyak sekali, namun ia tidak mempunyai keimanan, maka Alloh Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memberi pahala kepadanya. Maka keimanan tersebut merupakan syarat mutlak bagi seseorang jika ia ingin selamat dunia akherat.Sedangkan tadi telah dijelaskan bahwa keimanan itu termaktub dalam rukun iman. Dan rukun iman itulah inti aqidah Islam.
Maka inilah sisi pentingnya ‘aqidah Islam. Jika seseorang belajar tentang ilmu fiqh sedalam-dalamnya, kemudian ia beramal sebanyak-banyaknya, namun tidak pernah mempelajari ‘aqidah Islam, maka jurang kehancuran telah siap menelannya.Sangat mungkin sekali ia berbuat syirik namun ia tidak pernah mengetahui hal tersebut, karena ia tidak mau mempelajari ‘aqidah Islam. Padahal ia telah beramal banyak. Karena keengganannya untuk mempelajari ‘aqidah Islam itulah, yang membuat ia terjerumus ke dalam perbuatan syirik, sehingga syirik tersebut membuat amalnya batal semuanya tak bersisa.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “ Jika kamu mempersekutukan (Alloh), niscaya benar-benar akan terhapus semua amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS: Az-Zumar: 65).
Inilah pentingya ‘aqidah! Dengan mempelajari dan menegakkan ‘aqidah Islamiyah-lah kita akan selamat dunia akhirat.Hal yang pertama sekali harus kita pelajari dalam ilmu ‘aqidah adalah tentang dua kalimat syahadat. Mengapa?Secara akal, dua kalimat syahadat inilah yang bisa membuat seseorang dari kafir menjadi muslim. Maka sungguh aneh jika seorang muslim tidak pernah mempelajari kalimat yang dengannya kita bisa selamat dari neraka. Dan sungguh tergesa-gesa sekali jika kita meninggalkan kalimat syahadat, dan langsung mempelajari ilmu lain.
Padahal kalimat inilah yang mengandung tauhidullah (pengesaan terhadap Alloh Subhanahu wa Ta'ala) yang merupakan tugas pokok para Rasul dari Nabi Nuh ‘alaihissalaam sampai Rasul terakhir, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), sembahlah Alloh saja, dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Alloh) itu.’.” (QS: An-Nahl: 36).
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelun kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘ Bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’.” (QS: Al-Anbiyaa’: 25).
Dalam surat Al-A’raf, Alloh Subhanahu wa Ta'ala menceritakan bahwa Nabi Nuh, Huud, Shalih, Syuaib, dan lain-lain itu sama semua seruannya, yaitu menyeru kepada penyembahan Alloh Subhanahu wa Ta'ala semata (tauhid), yang artinya: “ Hai kaumku, sembahlah Alloh, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selainNya.” (QS: Al-A’raaf: 59, 65, 73, 85).
Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Alloh dan bahwa Muhammad adalah Rasululloh.” (HR: Al-Bukhary dan Muslim).
Dari dalil-dalil di atas, telah jelas bagi kita bahwa tugas inti dan yang paling pokok dari para Rasul Alloh Subhanahu wa Ta'ala adalah menyampaikan kalimat tauhid, menegakkan penyembahan hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala saja. Jika kita tidak mempelajari aqidah, maka tujuan pengutusan rasul Allah pada diri kita tidak tercapai, dan akibatnya hanya akan menjadi kerugian pada diri kita suatu hari nanti.Selain memang dakwah kepada tauhidullah itu adalah tugas inti dakwah para rasul, maka Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penyampaian kalimat syahadat menjadi materi dakwah yang pertama kali harus diterangkan kepada umat.
Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke Yaman, yang artinya: “ Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali dakwah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Laa ilaaha illaLLaah “
–dalam riwayat lain disebutkan: “Supaya mereka mentauhidkan Alloh” - Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu dakwahkan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam….” (HR: Al-Bukhary dan Muslim).
Jika begitu, maka ilmu Islam yang harus kita prioritaskan untuk kita pelajari lebih dulu dan kita utamakan adalah ‘aqidah, khususnya tentang kalimat syahadat.Maka jangan tunggu-tunggu lagi, mari kita pelajarilah rukun iman, koreksi pemahaman kalimat syahadat kita, bisa jadi belum sempurna. Tegakkan tauhidulloh, sembahlah Alloh Subhanahu wa Ta'ala saja, jauhkanlah diri dari segala macam bentuk syirik dan segala macam penyimpangan dalam ‘aqidah. Jangan sampai keengganan kita untuk belajar ‘aqidah Islam menjadi bumerang bagi diri kita sendiri pada waktu menghadap Alloh Subhanahu wa Ta'ala nanti. Wallaahu a’lam. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan kita hidayah dan bimibingannya selalu.

Menuntut Ilmu

Mungkin sudah belasan tahun atau puluhan tahun kita menjadi insan muslim. Namun dengan bilangan waktu yang sedemikian banyaknya tersebut, apakah kita sudah berIslam dengan urutan dan tata cara yang benar ? Jika jawabannya adalah belum, maka sungguh ironis hal tersebut.
Berapakah waktu yang telah kita sediakan untuk merenungi perjalanan yang telah kita lalui sebagai seorang insan muslim ? Jawabannya terserah pada diri kita masing-masing.
Alhamdulillah, jika kita sekarang mulai sadar. Lihatlah benar-benar pada diri kita masing-masing ! Apakah kita memang telah telah berIslam dengan cara yang benar, memulainya dengan cara yang benar ? Atau kita cuma ikut-ikutan dengan adat kebiasaan orang tua, teman, atau masyarakat sekitar tanpa tahu hakikatnya ?
Sehingga ujung ajaran Islam kita tidak tahu, pangkalnya pun tak kenal.Lalu sebenarnya bagaimana cara berIslam yang benar ?
Lebih khususnya bagaimana cara memulai berIslam yang benar itu ?
Sebenarnya, pertanyaan ini sangat relevan untuk dikemukakan terhadap diri kita. Alhamdulillah, Islam kini telah menyebar di mana-mana. Seruan untuk menegakkan sholat selalu berkumandang di mana-mana. Perintah untuk berinfaq disampaikan di setiap pengajian. Kewajiban berbakti pada orang tua selalu disampaikan di TPA-TPA. Perintah ini-itu tersebar di mana-mana. Sangat mungkin sekali seseorang yang baru melangkah ke jalan Islam akan bingung melihat begitu banyaknya, lengkapnya, dan sempurnanya ajaran Islam. Ia tidak tahu mana yang harus ia lakukan lebih dulu. Naik hajikah ? Atau membayar zakat maal yang belum ia bayar dulu ? Atau mewakafkan tanah untuk masjid ? Mungkin sekali ia bertanya, " Saya bingung dengan banyaknya perintah dalam Islam. Apa yang harus saya lakukan pertama kali untuk menegakkan ajaran Islam pada diri saya ?"
Itulah masalahnya. Bagaimana mengawali berIslam yang benar itu ?
Inilah jawabannya : Masalah yang sangat mendasar dan yang pertama kali harus dilakukan untuk menapaki Islam dengan cara yang benar adalah: Mencari ilmu tentang Islam itu sendiri, secara ringkas adalah : belajar Islam dulu sebelum mengamalkannya.Saking pentingnya ilmu tentang Islam itu, maka Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkannya pada setiap muslim dalam sebuah hadits yang artinya: "Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR: Ibnu Majah, sanadnya hasan).
Karena pentingnya ilmu Islam tersebut dan keharusan menjadikan ilmu itu sebagai awal dari segalanya, maka Imam Bukhory menulis satu bab tersendiri tentang hal tersebut, yaitu : " Bab : Ilmu itu didahulukan sebelum berucap dan berbuat". Beliau berdalil dengan firman Alloh subhaanahu wa ta'alaa, yang artinya: "Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Alloh... (QS: Muhammad: 19).
Secara akal sehat, memang benar pernyataan Imam Bukhory tersebut. Lihat saja, bagaimana mungkin seseorang bisa menegakkan sholat dengan benar padahal ia belum belajar bagaimana tata cara sholat yang benar tersebut. Bagaimana dia bisa berwudhu dengan benar sedangkan ia tidak pernah mau belajar bagaimana tata cara wudhu yang benar ? Bukankah orang yang mau belajar itu pasti lebih tahu dan lebih benar tata caranya daripada orang yang tidak pernah belajar? Maka suatu hal yang tidak akan pernah terbantahkan lagi bahwa menuntut ilmu agama dan mempelajarinya itu merupakan awal penegakan Islam, sebelum beramal dan berdakwah.
Pengertian keharusan mendahulukan ilmu sebelum beramal dan berdakwah tidaklah mewajibkan setiap muslim untuk menjadi seorang ulama yang faqih (paham) dalam semua masalah agama lebih dulu baru beramal dan berdakwah, namun yang dimaksudkan adalah: sebelum kita mengamalkan suatu amalan agama atau meyakini suatu keyakinan dalam agama, kita harus mengetahui bahwa amalan atau keyakinan tersebut ada dasarnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pengetahuan kita terhadap dasar amalan atau keyakinan tersebut sudah mencukupi bagi kita untuk mengamalkan amalan atau keyakinan tersebut, namun jika kita bisa menghafalkannya itu lebih baik.Namun ironisnya, sangat sedikit sekali orang yang memperhatikan masalah ini (mendahulukan berilmu sebelum beramal dan berdakwah). Bahkan sedikit sekali para da'i yang menekankan masalah ini kepada umat. Mereka menyampaikan perintah sholat, puasa, kewajiban ishlah (perbaikan keadaan umat), ekonomi Islam, politik Islam, bahkan sampai bagaimana mendirikan negara Islam, tapi hanya segelintir orang yang menyampaikan bahwa ilmu itu harus diraih lebih dulu sebelum beramal dan berdakwah.Akibat dari hal itu adalah makin merebaknya penyimpangan -penyimpangan dalam amaliyah Islam dan dakwah Islam.
Karena umat tidak pernah memperhatikan pentingnya ilmu sebelum beramal, maka yang terjadi adalah mereka bersemangat dan berlomba-lomba untuk beramal tapi tanpa didasari ilmu. Sehingga banyak sekali amalan-amalan yang tidak pernah ada sumbernya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah namun dipraktekkan oleh mayoritas umat Islam. Padahal Alloh subhaanahu wa ta'alaa berfirman, yang artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS: Al-Israa': 36).
alam ayat ini tersiratlah pemahaman bahwa Alloh subhaanahu wa ta'alaa telah melarang kita untuk mengikuti sesuatu yang tidak kita ketahui keadaannya.
Bukankah beramal tanpa mengetahui benar atau tidaknya amalan tersebut termasuk dalam larangan Alloh tadi ? Yang lebih parah lagi ialah munculnya da'i-da'i yang tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk berdakwah.
Mereka sudah ngalor-ngidul ngetan-ngulon berdakwah, baik di TPA, pengajian remaja, pengajian bapak-bapak, ibu-ibu, khotbah Jum'at, dan lain-lain, tapi ketika ditanya, " Apa saja rukun 2 kalimat syahadat? " ia jawab " Tidak tahu, mas.." Padahal 2 kalimat syahadat itu merupakan awal dari segala awal permasalahan agama. Semua amalan dan keyakinan agama pada dasarnya berpijak pada 2 kalimat tersebut. Jika awal dan dasar agama saja tidak paham, bagaimana dapat menegakkan Islam dengan benar? Bagaimana umat akan menjadi baik jika da'i yang membimbing umat saja tidak memahami Islam? Lalu apa yang ia dakwahkan? Jangan sampai terjadi seorang da'i tidak mau belajar Islam dengan benar sehingga malah membuat pemahaman sendiri tentang Islam kemudian ia dakwahkan padahal pemahaman yang ia buat malah menyimpang dari pemahaman yang benar. Na'uudzu billaahi min dzaalik!
Maka marilah kita bersadar diri! Bersegeralah untuk memulai Islam dengan cara yang benar, mulailah dengan mencari tahu tentang Islam, mulailah dengan membaca ilmu-ilmu agama, mencari dasar-dasar amalan yang jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Hadirilah majelis-majelis pengajian, simaklah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama, dan pahamilah maknanya serta introspeksi diri, apakah apa yang telah kita amalkan dan yakini selama ini benar-benar ada dasarnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Marilah kita raih ilmu, untuk selanjutnya kita amalkan dan dakwahkan! Wallaahu a'lam.

Thursday, October 25, 2007

Pacaran???

MediaMuslim.info- Seorang pemuda yang terlalu lama membujang, kadangkala merasa kesulitan untuk mencari calon istri, keberanian untuk bertandang dan meminang seorang gadis menjadi gamang karena terlalu banyak pertimbangan, akhirnya ... pernikahan menjadi sekedar angan-angan karena calon istri belum juga didapatkan. Sulitnya mencari calon istri. "PACARAN" tetap tidak diperbolehkan dan hukumnya haram.

Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan kungkungan nafsu, adapun manisnya perbuatan dan indahnya perkataan dalam pacaran, pada dasarnya hanyalah rayuan-rayuan belaka yang kosong dan hampa, yang mengandalkan permainkan kata-kata, untuk itu..hati- hatilah...Kebanyakan orang sebelum melangsungkan pernikahan biasanya 'berpacaran' terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru.

Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya HARAM hukumnya menurut syari'at Islam.
Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya" (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz ini dari riwayat Muslim dari shahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma)

Jadi dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan pacaran hukumnya HARAM.

Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran yaitu sangkaan sebagian orang yang menganggap bahwa kalau sudah tunangan/khitbah, maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami istri yang sah. Anggapan ini adalah salah. Dan perbuatan ini dosa besar.

Pemahaman Tentang "Dimanakah Alloh ?"


MediaMuslim.Info - Pertanyaan dimanakah Allah mungkin menggelitik sebagian kita kaum muslimin, seakan aneh masih membicarakan masalah ini, bukankah jelas Allah itu dekat sama kita, Allah itu ada dimana-mana selalu menyertai kita ?.

Inilah sebenarnya kesalahan dalam memahami arti pertanyaan "Dimanakah Allah ?". Justru pada dasarnya pertanyaan di atas terlontar manakala apa yang kita pahami selama ini salah. Seringkali kita tidak sadar bahwa pernyataan Allah itu ada dimana-mana, atau Allah itu dekat dengan kita tapi tidak bertempat atau yang lainnya itu keliru, sehingga kita tidak sadar apabila ditanya sesorang akan menjawab dengan mantap jawaban-jawaban di atas.
Perkara ini bukanlah perkara kecil, pemahaman yang benar tentang dimanakah Allah menjadi tuntutan mutlak bagi seorang muslim. Kesalahan fatal dalam memahami ini akan berbahaya bagi diri dan agamanya. Begitu pentingnya pemahaman keberadaan Allah sehingga menjadikan Rasulullah melepaskan seorang budak yang bisa menjawabnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah Allah itu sebenarnya berada ?
Jawabannya sudah jelas sebagaimana dipahami oleh seluruh sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seluruh ulama Ahlul Hadits bahwa Allah itu berada di atas Arsy di atas langit. Apa dasarnya mengatakan seperti itu ? Berikut kita bawakan tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalil-dalil yang mendukung kenyataan bahwa Allah itu berada di atas Arsy : Al-Qur’an, Hadits shahih, naluri dan cara berfikir yang sehat mendukung kenyatan bahwa Allah Subhanahu wa ta’alla berada di atas ‘Arsy.
Firman Allah yang artinya: "Allah yang Maha Rahman bersemayam di atas ‘Arsy". (Thaahaa: 5)
Pengertian ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari beberapa tabi’in.
Firman Allah yang artinya: "Apakah kamu merasa aman terhadap yang di langit? Bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu…"(Al-Mulk: 16).
Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumaa yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya.
Firman Allah yang artinya: "Mereka takut terhadap Rabb mereka yang berada di atas mereka". (An-Nahl: 50).
Firman Allah tentang Nabi ‘Isa ‘alaihi sallam yang artinya: "Tetapi Allah mengangkatnya kepada-Nya…".(An-Nisaa:158).
Firman Allah yang artinya: "Dan Dialah Allah (yang disembah) di langit…".(Al-An’aam:3). Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut, "Para ahli tafsir sependapat, kita tidak akan berkata sperti ucapan kaum Jahmiyah (golongan yang sesat) yang mengatakan Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka."
Adapun firman Allah yang artinya: "Dan Allah selalu bersamamu di mana kamu berada…".(Al-Hadid:4).
Maksudnya, Dia bersama kita, mengetahui, mendengar, dan melihat kita di mana pun kita berada. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudah ayat ini menjelaskan hal tersebut, seperti keterangan dalam Tafsir Ibnu Katsir Rahimahullahu ta’alla Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mi’raj ke langit ke tujuh dan difirmankan kepada beliau oleh Allah ‘azza wa jalla serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam , "Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?" (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam : "Sayangilah orng-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (Allah) akan menyayangimu." (HR. At-Tirmidzi).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang budak wanita, "Di manakah Allah?", Jawabnya, "Di langit.", Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, "Siapakah saya?" Dijawab lagi. "Engkau Rasul Allah" Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Merdekakanlah ia karena ia seorang mukminah." (HR. Muslim).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, "’Arsy itu berada di atas air, dan Allah berada di atas ‘Arsy, Allah mengetahui keadaan kamu." (HR. Abu Dawud, hasan)
Abu Bakar Ash-Shidiq berkata , "Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di langit, Dia Maha Hidup dan tidak Mati," (HR. Imam Darimi dalam Radd ‘alal Jahmiyyah)
‘Abdullah ibnul Mubarak Rahimahullahu ta’alla pernah ditanya, "Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?" Maka beliau menjawab, "Rabb kita berada di atas langit di atas ‘Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya".
Maksudnya Dzat Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, berbeda dan berpidah dengan makhluk-Nya, dan keadaan-Nya di atas ‘Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk Para Imam yang empat telah sepakat bahwa Allah Subhanahu wa ta’alla berada di atas ‘Arsy tidak ada seorang pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya Orang yang sedang shalat selalu mengucapkan Subhana Rabiyal a’laa (Maha Suci Rabb yang Maha Tinggi).
Ketika ia berdo’a juga mengangkat tangannya ke langit dan menengadahkan wajahnya ke langit Anak kecil ketika anda tanya di mana Allah dia akan segera menjawab berdasarkan naluri mereka bahwa Allah berada di langit Cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan Allah berada di langit, seandainya Allah Subhanahu wa ta’alla berada di semua tempat, niscaya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat , berarti Allah bisa berada di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha suci Allah dari anggapan yang demikian itu. Pendapat yang mengatakan Allah berada di segala tempat berarti Dzat Allah itu banyak, karena banyaknya tempat. Akan tetapi karena Dzat Allah itu satu dan mustahil banyak, maka pendapat tersebut adalah batil, jadi jelaslah Allah itu berada di langit, di atas ‘Arsy-Nya dan Dia bersama kita, Mengetahui, Mendengar, dan Melihat kita di mana pun kita berada.

Tuesday, October 23, 2007

Apa Sesudah Romadhon?


MediaMuslim.info- Kita telah berpisah dengan bulan Romadhon, bulan yang penuh berkah. Berpisah dengan siangnya yang begitu indah dan malamnya yang begitu harum semerbak. Kita berpisah dengan bulan Qur’an, bulan ketakwaan, kesabaran, Jihad, magfirah dan bulan pembebasan dari api neraka. Maka faedah apa yang sudah kita raih dari sekian banyak buah-buah Romadhon yang begitu agung dan naungan-Nya yang begitu luas?
Apakah dalam jiwa kita telah terwujud ketakwaan sehingga kita keluar dari madrasah Romadhon dengan predikat orang-orang yang bertaqwa? Dan apakah kita senantiasa sabar dalam ketaatan dan menjauhi ma’siat? Apakah kita telah mentarbiyah (mendidik) jiwa kita untuk melakukan berbagai bentuk jihad? Apakah kita telah berjihad melawan hawa nafsu dan mampu mengalahkannya ? Ataukah kita berhasil dikalahkan oleh kebiasaan-kebiasaan dan prilaku-prilaku buruk? Apakah kita telah berusaha sekuat tenaga untuk meraih rahmat, Magfirah-Nya dan pembebasan-Nya dari api neraka? Apakah….Apakah….Apakah…? Begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti hati seorang muslim sejati yang senantiasa mengoreksi dirinya dan menjawabnya dengan jujur dan terus terang.
Romadhon adalah madrasah imaniyah tempat persinggahan ruh untuk mempersiapkan bekal di sisa –sisa kehidupan kita di dunia. Maka kapan lagi seseorang akan mengambil bimbingan, pelajaran dan manfaat, untuk merubah kehidupannya jika ia tidak melakukannya pada bulan suci ini.Bulan Romadhon merupakan madrasah untuk mengadakan perubahan amalan, perilaku, kebiasaan dan akhlaq yang bertentangan dengan syariat Alloh Azza Wa Jalla.
Alloh 'Azza wa Jalla berfirman, artinya: "Sesungguhnya Alloh tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS: Ar Ra’du: 92)
Saudaraku yang tercinta ….. Saudariku muslimah.Jika kita termasuk orang-orang yang mampu meraih faedah-faedah Romadhon dan anda mewujudkan ketakwaan pada diri anda, berpuasa dengan benar, mengerjakan qiamullail dengan khusyu’ dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu maka hal tersebut dapat kita syukuri serta kita memohon kepada Alloh Azza Wa Jalla agar sikap tersebut konsisten sampai kembalinya ruh kehadirat-Nya.Maka hati-hatilah dan jangan sekali-kali termasuk orang-orang yang dimaksud dalam surat An Nahl ayat 92,
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah di pintal"
Apakah kita telah melihat seorang wanita yang memintal benang untuk dibuat sebuah baju kemudian ketika ia senang melihat baju tersebut ia menguraikan kembali pintalan-pintalan tersebut tanpa sebab! Maka apa komentar orang-orang terhadap perbuatan tersebut?Seperti inilah halnya seseorang yang kembali ke jalan kemaksiatan, kefasikan, kesesatan, kegelapan dan melepaskan ketaatannya kepada Alloh Azza Wa Jalla serta tidak lagi beramal sholeh setelah selesainya Romadhon setelah ia merasakan nikmatnya letaatan dan ketakwaan, nikmatnya berdo’a kepada-Nya ia kembali pada pahitnya dan sengsaranya kemaksiatan dan kegelapan !!Berkata Syaikh Shalih Fauzan bahwa: "Sesungguhnya kebanyakan dari manusia waktu-waktunya berlalu dengan sia-sia sesudah ied dengan begadang, tarian-tarian daerah, bermain yang melalaikan, sehingga mungkin saja mereka meninggalkan shalat-shalat pada waktunya atau shalat berjama’ah, seakan-akan mereka dengan perbuatan itu ingin menghapuskan pengaruh Romadhon pada jiwa-jiwa mereka jika mempunyai pengaruh, lalu memperbarui kehidupannya bersama syaithan yang jarang bermuamalah dengannya pada bulan Romadhon"Maka alangkah nistanya sekelompok manusia yang mengenal Alloh Azza Wa Jalla hanya di bulan Romadhon.
Imam Wuhabi bin Al Ward pernah melewati sekelompok manusia yang sedang asyik bermain pada hari ied, kemudian ia berkata kepada mereka: "Sungguh mengherankan kalian itu, kalau memang Alloh telah menerima puasa kalian apakah semacam ini cara kalian bersyukur dan jikaAlloh tak menerima amalan puasa kalian apakah semacam ini cara kalian takut
"Saudara-saudaraku tercinta…Ada beberapa indikasi yang menunjukkan terjerumusnya manusia dalam hal tersebut diantaranya:
Orang-orang sudah tidak lagi memperhatikan shalat berjamaah yang bisa kita lihat pada hari pertama di hari raya dimana pada saat Romadhon masjid dan mushalla selalu padat dengan para jama’ah shalat tarawih yang itu hukumnya sunnah tetapi setelah itu jama’ah mulai berkurang pada shalat lima waktu yang hukumnya wajib dan hal ini bisa menjadikan orang menjadi kafir jika meninggalkannya.
Menyebarnya kembali nyanyian, film-film, berhias dan menyingkap wajah (bagi wanita) dan bercampurnya pria dan wanita (bukan mahram) di tempat-tempat rekreasi serta pergi ke tempat-tempat hiburan pria dan wanita untuk pacaran dan lain-lain.
Melancong ke beberapa negara untuk kemaksiatan dimana orang-orang baik secara kolegial maupun individu berbondong-bondong mendatangi biro-biro perjalanan untuk memperoleh tiket ke luar negeri dengan tujuan negara-negara non Islam yang penuh dengan kekufuran, kemaksiatan, kerusakan moral dan lainnya.
Ini merupakan salah satu tanda tidak diterimanya amal –naudzubillahi- karena hakekat seseorang berpuasa adalah ia bahagia di hari ‘Iedul fitri, bertahmid dan bersyukur kepada Alloh Azza Wa Jalla atas kesempurnaan puasanya. Di waktu yang sama ia menangis karena khawatir Alloh Azza Wa Jalla tidak menerima ibadah puasanya. Sebagaimana dulu para pendahulu umat ini yang sholeh menangis selama 6 bulan setelah Romadhon untuk memohon kepada Alloh Azza Wa Jalla supaya ibadah puasanya diterima di sisi-Nya.Diantara indikasi diterimanya amalan ibadah seorang hamba adalah keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya dalam hal ketaatan dan ketundukannya terhadap syari’at-syari’at Islam.
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu" (QS: Ibrahim: 7)
Artinya bertambahnya kebaikan baik zhohir maupun batin yang berupa bertambahnya keimanan dan amal sholeh. Oleh karena itu seandainya seorang hamba memiliki kesungguhan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Alloh Azza Wa Jalla maka kebaikan dan ketaatannya terhadap syariat-syariat-Nya akan meningkat dan mampu menjauhi kemaksiatan. Sebagaimana telah di katakan oleh para pendahulu yang sholeh: ”Syukur adalah meninggalkan kemaksiatan”Setiap seorang hamba harus senantiasa taat kepada Alloh Azza Wa Jalla dan komitmen dengan syari’at-syari’at-Nya serta istiqomah dengan agama-Nya.
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)" (QS: Al Hijr: 99)
Jangan bersikap seperti rubah yang beribadah kepada Alloh Azza Wa JAlla sebulan kemudian bermaksiat di bulan yang lain atau beribadah kepada-Nya di suatu tempat tapi bermaksiat di tempat yang lain atau !Namun hendaknya ia memahami bahwa Tuhan Pemilik Romadhon adalah juga Tuhan Pemilik bulan-bulan lain dan Ia Pemilik semua waktu dan tempat, agar senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus sampai ia kembali kehadirat-Nya dalam keadaan diridhai oleh-Nya.
Alloh Azza Wa Jalla berfirman, yang artinya: "Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya" (QS: Fushshilat: 6)

Rasululloh ShallAllohu Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: "Katakan aku beriman kepada Alloh kemudian beristiqomahlah" (HR: Muslim)
Kalau seandainya puasa Romadhon telah selesai masih ada puasa-puasa sunnah lainnya seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa hari Senin dan Kamis, puasa di tengah bulan (tanggal 13,14 dan 15 bulan hijriyah), puasa ‘Asyuro dan Arofah dan lainnya. Kalau qiyamur Romadhon sudah berakhir maka masih ada qiyamullail yang disyariatkan dilakukan setiap malam.Dan seandainya shodaqoh dan zakat fitri di bulan Romadhon sudah ditunaikan, masih ada zakat wajib lainnya.
Demikianlah hakekat amalan sholeh yang bisa dilakukan sepanjang masa. Untuk itulah bersungguh-sungguhlah wahai Saudaraku seiman untuk senantiasa taat kepada Alloh Azza Wa Jalla dan jauhilah kemalasan dan kelesuan dan jika kita enggan melaksanakan amalan-amalan sunnah maka jangan sekali-kali meninggalkan dan melalaikan kewajibanmu seperti shalat lima waktu yang harus dilakukan tepat pada waktunya dan dengan berjama’ah dan jangan sekali-kali terjerumus kepada kemaksiatan dengan berkata-kata, makan, minum, melihat dan mendengarkan hal-hal yang diharamkan.Demi Alloh Azza Wa Jalla beristiqamahlah dan komitmenlah pada agama-Nya di sepanjang masa karena engkau tidak tahu kedatangan malaikat maut. Jangan sampai ia datang dan engkau dalam keadaan maksiat kepada Alloh Azza Wa Jalla.
Rasululloh ShallAllohu Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: "Ya Alloh, Pembolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agamamu" (HR: Ahmad). [Yudi Wahyudi]

Monday, October 22, 2007

Tradisi Jabat Tangan Dengan Bukan Mahrom

Pada zaman sekarang jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan hampir sudah menjadi tradisi. Tradisi yang mengalahkan akhlak islami yang semestinya ditegakkan. Bahkan sebagian pelakunya menganggap kebiasaan itu jauh lebih baik dan lebih tinggi nilainya dari pada syariat Alloh Subhaanahu wa Ta’ala yang mengharamkannya. Sehingga ketika berdialog dengan sebagian umat Islam mengenai hukum syariat dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas tentu serta merta sebagian kita akan menuduh kita dengan sebagai orang kolot, ketinggalan zaman, kaku, sulit beradaptasi, ekstrim, hendak memutuskan tali silaturrahmi, menggoyahkan niat baik ….dan sebagainya.

Sehingga dalam masyarakat kita, berjabat tangan dengan anak (perempuan) paman atau bibi dengan istri saudara atau istri paman baik dari pihak ayah maupun ibu lebih mudah dari pada minum air.

Seandainya kita melihat secara jernih dan penuh pengetahuan tentang bahaya persoalan tersebut menurut syara’ tentu kita tidak akan melakukan hal tersebut.

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: "Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum besi, lebih baik daripada dia menyentuh yang tidak halal dia sentuh" (lihat Silsilah Al-Hadits As Shohihah 226)

Kemudian tidak diragukan sedikitpun lagi, hal ini termasuk zina tangan sebagaimana disabdakan oleh Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam, yang artinya: "Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluanpun berzina" (HR: Ahmad 1/ 412; shahihul jami’ 4126).

Sebagian kita tidak jarang beralasan berupa pernyataan "yang pentingkan hati", "hatikan bersih", "yang penting perasaan bersih", "yang penting pikiran bersih" dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan kita, adakah orang yang hatinya lebih bersih dari hati Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam? Namun begitu beliau mengatakan, yang artinya: "Sesungguhnya aku tidak menyentuh tangan dengan wanita" (HR: Ahmad, 6/357 dalam shahihul jami’ hadits no : 2509).

Beliau Shallallahu'alaihi wa Sallam juga bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita" (HR: Ath Thabrani dalam Al Kabir: 24/342, shahihul jami’: 70554)

Dan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, yang artinya: "Demi Alloh, tiadalah pernah tangan Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menyentuh tangan wanita walau sekali. Dan tiadalah beliau memba'iat kaum wanita, kecuali hanya dengan ucapan" (HR: Muslim 3/1489).

Perlu juga diketahui, berjabat tangan dengan lawan jenis, meski memakai alas (kaos tangan) hukumnya tetap haram.

Hendaknya kita takut kepada Alloh dan para orang-orang tua hendaknya tidak mengancam anak-anaknya yang shalih/shalihah karena tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya. Dan semoga kita mampu serta berupaya terus melaksanakan syariat Islam secara keseluruhan tanpa adanya tebang pilih berdasarkan hawa nafsu apalagi demi kepentingan kelompok dan kedudukan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. MediaMuslim.Info